Menjadi Berarti
“Hayo, ini
berapa?” katanya. Seenaknya saja anak kecil berbaju merah ini bertanya padaku.
“Lima belas” kataku. “Salah Kak. Ini lima.” Aku tertawa terbahak. Mereka masih
kecil dan sangat pandai meniru apa yang mereka lihat beberapa menit sebelumnya.
Dalam hati aku tau jika ku jawab 5, mereka akan bilang lima belas. Memang pintar dan
jenaka sekali mereka ini.
Mungkin sudah sekitar
satu setengah tahun berlalu sejak wilayah ini terguncang gempa 6.4 skala
Richter. Rumah-rumah roboh, pohon-pohon tumbang dan orang-orang berlarian ke
tempat yang lebih aman. Tidak terkecuali anak-anak ini. Merujuk pada gempa yang
terjadi malam hari, bocah berbaju polo biru putih kuning berkata, “Waktu itu
saya sedang tidur Kak. Agak sakit. Yang saya ingat tiba-tiba saya sudah
dibopong lari oleh orang tua saya”. Ketika ku tanya kemana arah mereka berlari,
mereka serempak menunjuk ke arah jalan yang menuju sebuah bukit yang terlihat
dari desa. Si gadis kecil berkata, “Dia (menunjuk temannya berbaju merah)
hampir tertimbun reruntuhan rumahnya. Untung ada kayu yang menyangga tembok
jadi dia bersembunyi di celah yang ada di bawahnya.” Bergetar hatiku mendengarnya.
Karena aku tidak bisa membayangkan ada di posisi seperti itu, aku bertanya pada
anak ini, “Ga takut waktu itu?”. “Takut, Kak” jawabnya. Singkat cerita, bocah
berbaju merah itu selamat dan berani bertanya “Hayo, ini berapa?” padaku hari
itu.
Umur mereka
mungkin belum seberapa, masih kelas 2, 3 dan 4 SD, tapi mungkin mereka sudah
rasakan sedih yang belum pernah kita rasakan. Coba lihat raut wajah mereka,
adakah sedih tergurat disana? Kini mereka sudah bisa tersenyum lebar, menaiki
sepeda andalan mereka dan berputar dari rumah ke sekolah dan kemanapun mereka
mau. Namun aku sadar bahwa terkadang ada duka di balik setiap tawa dan ada lara
yang coba disembunyikan di setiap canda. Ku tanyai lagi mereka, “Jadi sekarang
sudah nggak takut?”. Mereka bertiga kompak menggeleng.
Pada titik itu
aku belajar bahwa setiap manusia diberi kekuatan yang berbeda-beda dalam
menghadapi alur kehidupannya. Jikalau aku yang sekarang menjadi mereka dan
mengalami apa yang mereka rasakan, mungkin satu setengah tahun bukan waktu yang
cukup untuk menghilangkan trauma tersebut. Bahkan rasa takutku saat tercebur ke
sungai saat ku kecil masih terngiang di kepalaku hingga sekarang meskipun
perlahan berkurang. Sungguh, anak-anak ini kuat luar biasa.
Obrolan hari itu
berlanjut tentang cita-cita. Kutanyai mereka satu persatu mereka ingin jadi apa
saat besar nanti. Si anak berbaju polo mengacungkan tangan dan berkata,
“Polisi.” “Kenapa?” tanyaku. “Soalnya gagah Kak, bisa membantu orang-orang.”
Benar-benar tujuan yang sangat mulia batinku. Si anak perempuan tampak tidak
mau kalah dan ingin menyampaikan cita-citanya. “Kalo aku ingin jadi guru. Jadi
bisa ngajar di sini (red: SDN 1 Gondang) dan ketemu anak-anak tiap hari.” Lagi,
aku merasa seandainya orang-orang di atas sana punya hati sepolos dan setulus
mereka. Lalu aku bertanya pada bocah di sebelahku, “Kalo kamu, ingin jadi
apa?”. Dia menaruh tangannya di depan badannya dan mencoba menirukan gaya
menyetir mobil. Kawannya yang berbaju polo berkata, “Dia ingin jadi supir truk,
Kak”. Aku coba konfirmasi kepadanya dan ia mengangguk. Saat kutanya kenapa ia
ingin menjadi supir truk, ia berkata, “Enak Kak bisa jalan-jalan.”
Hatiku tersayat
di situ saat aku menyaksikan senyum yang keluar dari wajahnya. Senyumku kelu
menjawab senyum lebar darinya. Bukan berarti menjadi supir truk adalah hal yang
tidak mulia, bukan. Tentu, anak sekecil itu masih belum tau banyak tentang
hal-hal yang sesungguhnya ada di sekitarnya dan mungkin bisa jadi cita-citanya
di masa depan. Tentu pengetahuan dia akan berkembang tetapi alangkah lebih
baiknya jika kita bisa membantu untuk membukakan cakrawalanya. Membuat dia
bertambah tahu tentang sesuatu yang menarik untuknya dan ketika dia besar nanti
dia tahu ingin menjadi manusia yang seperti apa. Setidaknya nasibnya bisa jadi
jauh lebih baik daripada kita-kita yang mungkin belum tahu ingin jadi apa.
Aku belajar banyak hari itu. Belajar betapa setiap dari kita punya kekuatan dan kelemahan yang berbeda-beda. Belajar bahwa kita hidup di dunia ini adalah sebagai bagian tim besar "Alam Semesta" dan sudah seharusnya kita ada dan melengkapi satu sama lain. Satu lagi yang ku pelajari adalah mungkin sudah saatnya kita berbuat sesuatu agar saat waktu kita meninggalkan dunia ini tiba, tempat ini sudah jadi tempat yang lebih baik daripada apa yang kita tinggali kini.
Kamu pintar, tampan dan berpikiran luas. Aku mengagumimu. Semoga yang baik-baik menyertaimu selalu :)
BalasHapus